Monday 23 December 2013

PERKEMBANGAN BUDIDAYA IKAN HIAS LAUT


PERKEMBANGAN BUDIDAYA  IKAN HIAS LAUT

Prospek Pasar
              Ikan hias indonesia memiliki prospek pasar yang berkembang pesat. Menurut keterangan kementerian kelautan dan perikanan, pada tahun 2012 lalu nilai ekspornya mencapai 600 milyar rupiah. angka ini menempatkan Indonesia ke dalam lima besar negara-negara pengekspor ikan hias, di bawah Ceko, Thailand, Jepang dan Singapura. khusus untuk Singapura, sebagian besar ikan hias asal negeri ini dipasok dari Indonesia.
              Sebagai negara yang memiliki keaneka ragaman hayati tertinggi di dunia setelah Brasil, Indonesia memiliki banyak jenis spesies ikan hias. Sumber ikan hias ini berasal dari perairan laut dan perairan darat. Hingga saat ini di Indonesia terdapat 700 spesies ikan hias air laut, hanya saja yang bisa diindentifikasi baru sekitar 480 spesies, dan 200 diantaranya sudah diperdagangkan. Pangsa pasarnya secara global mencapi 20 persen. Dari jumlah itu 95 persen masih ditangkap dari alam dan hanya 5 persen yang dapat dibudidayakan.
Target produksi ikan hias yang cukup besar ini dilandasi atas potensi sumber daya ikan hias Indonesia, dengan 400 spesies ikan air tawar dari 1.100 spesies yang ada di dunia berada di Perairan Indonesia atau sebesar 40%. Selain itu, jumlah ikan hias air laut yang berjumlah 650 spesies atau sebesar 30% sedangkan yang baru diperdagangkan sekitar 200 spesies.
Namun dengan potensi hasil kekayaan alam tersebut jika tidak dimamfaatkan secara benar dan tidak dibarengi dengan kegiatan budidaya maka lambat laun kekayaan tersebut akan menjadi rusak. Jika dilihat dari potensi tersebut apabila ditangani secara serius antara pemerintah dan seluruh stakeholder ikan hias yang ada di Indonesia maka Indonesi dapat menjadi eksportir terbesar di Dunia mengungguli Singapura

Respon BBL Ambon Terhadap Ikan Hias Laut
Permintaan pasar akan ikan hias air laut semakin tinggi. Di pangsa pasar lokal saja setiap tahun mengalami pertumbuhan signifikan. Belum lagi permintaan pasar nasional dan internasional.
Kepala Balai Budidaya Laut Ambon Nono Hartanto, M.Aq dalam rilisnya mengatakan,  peluang ekspor ikan-ikan hias itu ke berbagai negara terus meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan permintaan ikan hias air laut di seluruh dunia pun akan terus semakin meningkat beberapa tahun ke depan.
Kondisi ini dapat dibuktikan di Balai Budidaya Laut Ambon (BBL Ambon). Dimana saat ini permintaan ikan hias dari pengusaha di berbagai daerah seperti Lampung, Bali, Surabaya dan Jakarta terus mengalami peningkatan. Bahkan saat ini permintan di BBL Ambon dapat mencapai angka 20.000 ekor perbulannya.
Hal ini, diakui Nono Hartanto, merupakan peluang dan tantangan mengingat untuk memenuhi permintaan sebesar itu BBL Ambon mengalami keterbatasan sarana produksi. Namun begitu, untuk mengatasi masalah kurangnya stock ikan hias laut tersebut BBL Ambon melakukan perekayasan teknologi budidaya ikan hias laut di Keramba Jaring Apung (KJA).
Hasil perekayasan tersebut menunjukan bahwa ikan hias laut dapat dibudidayakan di KJA. Berdasarkan hasil perekayasan tersebut BBL Ambon membudidayakan ikan hias laut.  Sebagaimana diketahui, masyarakat pembudidaya ini awalnya membudidayakan ikan konsumsi seperti, kerapu dan bubara di KJA milik mereka. Hasil survey BBL Ambon pada KJA milik masyarakat pembudidaya menunjukan, bahwa diantara KJA ini ada unit yang masih kosong atau tidak digunakan. KJA kosong inilah yang digunakan untuk membudidayakan ikan hias laut.
Sampai saat ini, paparnya, masyarakat pembudidaya ikan yang telah di gandeng oleh BBL Ambon adalah pembudidaya Desa Waiheru dan BP3 Poka. Beberapa ikan hias laut yang dapat dibudidayakan dan berkembang sangat baik di KJA adalah Capungan Ambon/Banggai Cardinalfish (Pterapogon kaudernii), Betok Ambon (Chrysiptera cyanea), Betok Ambon Kuning (Pomancentrus ambonensis), Clownfish (Amphiprion ocellaris), Clownfish Biak (Amphiprion percula), Giro pasir (Amphirprion clarki), Maroon Clownfish (Premnas biaculeatus), Clown fish pink (Amphiprion periderion) dan Orange anemonfish (Amphiprion sandaracinos).
Diharapkan dengan adanya keikutsertaan masyarakat pembudidaya ini, mendorong mempercepat konversi pemenuhan kebutuhan ikan hias nasional dari ketergantungan terhadap pasokan ikan hias laut hasil tangkapan di alam beralih ke pasokan ikan hias laut dari hasil budidaya masyarakat.
Selain itu, dengan adanya teknologi budidaya ikan hias laut di KJA ini diharapkan dapat menciptakan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempertahankan plasma nutfah perairan Teluk Ambon Dalam dan mendukung perairan Teluk Ambon Dalam sebagai sentral pengembangan ikan laut di Kota Ambon serta mendukung Maluku sebagai lumbung ikan nasional..

Sunday 13 October 2013

Sekilas Foto Budidaya Ikan Hias Clownfish

SARANA BUDIDAYA CLOWNFISH










Keterangan: Foto kondisi kegiatan budidaya ikan hias laut Pada Balai Budidaya Laut Ambon

Monday 29 July 2013

BREEDING UDANG BANDED CORAL (Stenopus hispidus) DAN MANDARINFISH (Synchiropus splendidus) DENGAN SISTIM POLIKULTUR


BREEDING UDANG BANDED CORAL (Stenopus hispidus) DAN MANDARINFISH (Synchiropus splendidus) DENGAN SISTIM POLIKULTUR

Udang banded coral (Stenopus hispidus) bagian dari  salah satu tiga keluarga yang berkaitan dengan ikan pembersih. Mereka dapat ditemukan di perairan dangkal tropis Indo-Pasifik dan Atlantik Barat. S. hispidus adalah udang hias yang sangat penting dalam perdagangan ikan hias karena warnanya yang indah dan pemeliharaannyapun cukup mudah di akuarium. Udang ini ditemukan hidup berpasangan di laut. Perkawinan berlangsung pada saat betina  mengalami  fase molting. Tidak ada predator alami dari udang banded coral yang diamati memangsa udang ini. Koleksi dari S. hispidus membuat sebagian besar perdagangan di seluruh dunia hias laut yang menjadikan lebih dari 200 juta dolar per tahun (Shuman et.al 2004).

Klasifikasi
Filum: Arthopoda 
Kelas: Crustacea 
Subclass: Malacostraca 
Ordo: Decapoda 
Keluarga: Stenopodidae 

Habitat 
           
Stenopus hispidus ditemukan di seluruh wilayah Indo-Pasifik dari Laut Merah dan Afrika Selatan ke Hawaii dan Kepulauan Tuamotu (Limbaugh et. Al 1961). Meskipun tidak ditemukan di Atlantik timur, S. hispidus dapat ditemukan di perairan tropis di Atlantik barat dari Bermuda dan di lepas pantai Carolina Utara ke teluk Meksiko dan selatan Florida (Zhang et. al, 1998). 

Ekologi 
Tiga keluarga kecil dari udang berwarna cerah yang telah diamati untuk menghilangkan parasite adalah stenopodidea, penaeidea, dan caridea (Limbaugh et. Al 1961). Keluarga stenopodidea terdiri dari Stenopus hispidus yang merupakan yang terbesar dari udang yang dikenal pembersih,  mencapai panjang lebih dari 7,5 sentimeter dengan betina kadang-kadang lebih besar dari jantan (Limbaugh et. Al 1961). Udang ini memiliki beberapa nama-nama umum seperti udang galah tukang cukur, udang karang banded dan udang pembersih. Mereka memiliki tubuh putih dengan 3 band merah yang luas didukung oleh kaki kebiruan panjang dan chelipeds merah dan putih ramping atau cakar (Sterrer 1986). Untuk bergerak, S. hispidus dilengkapi dengan 4 kaki berjalan disebut periopods dan swimmerets untuk berenang terletak di bawah perut (Limbaugh et. al 1961). 

Penanganan Induk
                Udang banded coral (Stenopus hispidus) dipelihara di dalam bak fiber bervolume 2 ton bersama dengan induk ikan hias mandarinfish dengan tujuan untuk membantu membersihkan parasite yang ada pada ikan tersebut dan selama pemeliharaan belum pernah ditemukan serangan parasite yang serius pada induk mandarinfish, dengan adanya Udang banded coral dapat membantu membersihkan sisa-sisa pakan yang tidak termakan oleh induk mandarinfish. Dalam pemeliharaan tersebut ditemukan adanya kecocokan dalam pemeliharaan yang saling menguntungkan dan tidak dapat dijelaskan satu persatu.

Pakan dan Pemberian Pakan
                Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi hari sekitar jam 09.00 dan siang hari yaitu sekitar jam 16.00, pakan tersebut berupa artemia dewasa, cacing renik dan pakan pellet (pakan buatan). Ukuran pakan tentunya disesuaikan dengan bukaan mulut induk mandarinfish bukan disesuaikan dengan bukaan mulut udang tersebut dimana udang ini mampu memakan pakan yang berukuran besar dengan menggunakan capitnya. Dosis pakan yang diberikan disesuaikan dengan jumlah komoditas yang ada artinya sebaiknya pakan tersebut habis sebelum pemberian pakan berikutnya agar tidak menyebabkan pembusukan terutama pakan pellet.

Pemijahan
               Pemijahan dilakukan secara alami tanpa adanya bantuan hormone, Udang banded coral (Stenopus hispidus) memijah sepanjang tahun dengan selang waktu pemijahan 2 minggu sekali. Penetasan telut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menetaskan langsung di wadah pemeliharaan induk atau dengan memindahkan induk setelah siap menetas ke wadah pemeliharaan larva dengan menggunakan keranjang yang diberi pelampung.

Pemeliharaan Larva
            Pemeliharaan larva dilakukan pada wadah yang bervolume 3 ton dengan pemberian pakan 2 kali sehari, pakan yang diberikan pada awal pemeliharaan adalah rotifer dan beberapa minggu kemudian diberikan naupli artemia. Dalam wadah tersebut dilengkapi aerasi untuk mensuplai oksigen kedalam air dan pada bagian atas wadah diberi plastic penutup  dengan tujuan untuk menjaga kestabilan suhu, sebaiknya plastic tersebut tembus cahaya.

Keberhasilan
            Pada pemeliharaan larva sebelumnya, larva hanya dapat bertahan sekitar 20 hari dan pemeliharaan larva selanjutnya sudah dapat bertahan sekitar 35 hari. Dalam pemeliharaan larva ditemukan ditemukan pertumbuhan yang sangat lambat yaitu baru berukuran sekitar 1 cm dan belum mempunyai warna kecuali pada bagian ekor dan kepala. Penelitian ini akan terus dikaji sampai mendapatkan hasil yang maksimal.



Friday 28 June 2013

Jurnal: EFEKTIFITAS PEMIJAHAN IKAN BLUE DEVIL (Chrysiptera cyanea)


Suharno, Abdul Gani dan Akhmad Sururi

ABSTRAK
Pemanfaatan sumberdaya ikan hias air laut, saat ini cenderung meningkat dan penangkapannya dilakukan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan dan dilakukan secara terus –menerus dan tidak terkontrol. Kajian  bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan rasio jantan betina yang berbeda terhadap tingkat pembuahan dan tingkat penetasan ikan blue devil (Chrysiptera cyanea ).
Metode  yang dilakukan bersifat eksperimen, yang dipelihara pada 3 bak kapasitas 2m3,  Bak I  dengan perbandingan 1 : 1 (12 jantan : 12 Betina) untuk Bak II perbandingan 1 : 2  (12 Jantan : 24 Betina)  dan untuk Bak III perbandingan 1 : 3 (12 Jantan : 36 Betina). Kajian dilakukan selama 3 bulan di indoor hachery Balai Budidaya Laut Ambon
Pengamatan dilakukan  dengan cara mengamati frekwensi pemijahan, tingkat pembuahan dan derajat penetasan ikan  hias Blue Devil (Chrysiptera cyanea), Induk diberi pakan pelet sebanyak 2-3% dari berat tubuh (BW) dengan frekwensi 2 kali sehari, pagi dan sore hari serta diberi pakan alami berupa Artemia dewasa yang telah di perkaya dengan multivitamin dua hari sekali. Uji chi-square memperlihatkan tingkat pembuahan pada  ketiga perlakuan menunjukkan bahwa  X2 hitung (0,071) <  X2  tabel (18.31)  pada taraf α = 0,05. dengan demikian hipotesis awal (H0) perbedaan rasio jantan betina terhadap derajat pembuahan diterima dan menolak hipotesis akhir. Selanjutnya Uji Chi-Square yang dilakukan terhadap derajat penetasan pada  ketiga perlakuan menunjukkan bahwa X² Hitung =23,32  α=0,05  X² table = 18,31, Kesimpulan X² Hitung  > X² table. Dengan demikian Rasio jantan betina yang berbeda tidak berpengaruh tehadap tingkat pembuahan tetapi berpengaruh siqnifikan terhadap tingkat penetasan ikan blue devil  (Chrysiptera cyanea).
Kata Kunci : Ikan Blue Devil, Rasio Jantan : Betina

Abstract : Spawning Effectiveness of Blue Devil (Chrysiptera cyanea) With Comparison of  Different Male and Female Couple.
The utilization of fisheries resources, especially fish, as this tends toexploitnatural resources in way sthat are not environmentally friendly. And conditions change or polluted waters, willlead to lowerfish populationsin the wild. In order to realize sustainability of fishing industry, needs to do a trial effort in spawning Blue Devil (Chrysiptera cyanea ) with a different number of pairs.
Experimental method used, which is maintained at 3 2m3 capacity of tank, Tank I in the ratio 1: 1 (12 males: 12 females) for Tank II ratio of 1: 2 (12 males: 24 females) and for Tank III ratio 1: 3 (12 males: 36 females). The study was conducted for 3 months in indoor hachery of Ambon Mariculture Development Center.
Observations made by observing the frequency of spawning, fertilization rate and hatching of Blue Devil (Chrysiptera cyanea). The broodstock given feed of pellets as much as 2-3% of body weight (BW) with a frequency of 2 times a day, morning and afternoon, and were fed live feed of adult Artemia has been enriched with a multivitamin every other day. Chi-square test showed conception rate in the three treatments showed that the X2 count (0.071) < X2 table (18:31) at level α = 0.05. Thus the initial hypothesis (H0) differences in the ratio of females to males accepted and rejected conception degree final hypothesis. Furthermore, Chi-Square test were conducted on the third hatching treatment showed that X ² count = 23.32  α = 0.05 X ² table = 18.31, The conclusion is X² count > X ² table. Thus the male female ratio is different does not affect fertilization rate but significant effect on the level of blue devil fish hatchery (Chrysiptera cyanea).

Keywords : Blue Devil, The Ratio Of Male: Female

 

I. PENDAHULUA
     Setiap makhluk hidup melakukan perkawinan untuk menjaga kelestarian spesiesnya. Pada organisme aquatik proses perkawinan ini sering disebut memijah, Proses pemijahan dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu courtship, proses mating dan spawning. Dalam melakukan pemijahan selain lingkungan yang mendukung salah satu syarat utama adalah induk harus  matang gonad, tingkat kematangan gonad setiap individu berbeda–beda tergantung dari jenis  dan  jenis kelamin dari organisme tersebut.
     Pengelolaan dan  pemanfaatan ikan hias perlu dilakukan, mengingat asosiasi ikan karang dan terumbu karang sangat erat, sehingga eksistensi ikan karang di suatu wilayah terumbu karang sangat rapuh ketika terjadi pengrusakan habitatnya (Hartati dan Idrus 2005). Pada bagian lain pemanfaatannya terus berkembang sehingga dapat mengancam keberadaan dan keanekaragaman spesies sumberdaya ikan hias.
     Allen, (1996) dan Kuiter, (1992). dalam La Anadi, (1998). Menyatakan  spesies blue devil atau Betok Ambon (Chrysiptera cyanea)  termasuk Famili Pomacentridae atau kelompok damselfish yang hidup menyebar pada habitat terumbu karang, dimana tingkah laku semua jenis ikan dari famili Pomacentridae dapat menjadi agresif terhadap tempat atau lokasi dimana mereka tinggal dan sangat sensitif terhadap gangguan yang membahayakan dirinya. Menurut Allen, (1972) dalam La Anadi, (1998), ikan blue devil mempunyai daerah kekuasaan (territorial) dan berusaha mempertahankan daerah kekuasaannya dengan segala kemampuan sehingga sering tejadi perkelahian diantara ikan  blue devil sendiri. Ciri lain  dari ikan family Pomacentridae ini dalam melakukan perkawinan melalui beberapa tahapan, yaitu courtship, proses mating, dan spawning. Induk jantan sangat protektif dalam melakukan penjagaan terhadap telur yang telah dibuahi selama lebih kurang 4 hari masa inkubasi sampai telur menetas.
     Maksud  dan tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk menganalisa perbedaan jumlah rasio jantan : betina terhadap tingkat pembuahan dan penetasan larva ikan blue devil  (Chrysiptera cyanea). Sehingga diharapkan kajian ini dapat memberikan informasi sebagai  bahan pertimbangan dalam pengelolaan dan  pemeliharaan  induk  ikan blue devil  (Chrysiptera cyanea), dengan rasio jantan betina yang berbeda, serta mengetahui tingkat produktifitas selama musim pemijahan.

II. MATERIAL DAN METODE

2.1 Waktu dan Tempat
     Uji coba,  dilakukan di Indoor Hatchery Balai Budidaya Laut Ambon, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kegiatan  ini  dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai April 2012.

2.2 Alat dan Bahan
     Berbagai bahan dan alat yang akan  digunakan untuk mendukung kegiatan penelitian Perbedaan Jumlah Rasio Jantan : Betina  terhadap tingkat  pembuahan dan penetasan ikan Blue Devil (Chrysiptera cyanea) seperti tetera pada Tabel 1. dan Tabel 2.

   Tabel 1. Daftar  peralatan yang  digunakan dalam uji coba
No
Alat
Spesifikasi
Kegunaan
1
Bak pemijahan
Fiber , vol 2m³
Wadah pemeliharaan induk
2
Peralatan
(batu aerasi,kran, selang aerasi
Suplai oksigen
3
Baskom plastik
30 liter
Wadah pengukuran induk
4
Filter Bag
500 mikron
Penyaring air
5
Serokan /tanggo
 
Untuk menangkap sampel induk
6
Mikroskop
Olympus
model HC-2
Pengamatan telur ,untuk melihat perkembangan  larva
7
Mikrometer
 
Untuk mengukur besar telur dan yolk eggs,oil globule . dll
8
Alat ukur kualitas air
YSI , Termometer digital ,
ukur kualitas air, Suhu,pH,Do ,Salinitas.
9
Kamera digital
 
Untuk mengambil gambar

     Tabel 2. Daftar Bahan yang digunakan
No
Bahan
Spesifikasi
Keterengan
1
Induk Ikan (108 individu)
Blue Devil C. cyanea
Bahan Uji
2
Telur Ikan
Blue Devil C. cyanea
Bahan Uji
3
Telur Hasil Fertilisasi
Blue Devil C. cyanea
Bahan Pengamatan
3
Pakan Buatan
Pelet
Diberikan 2 kali  sehari
4
Pakan hidup
Artemia dewasa
2 Hari sekali
5
Multivitamin
Scotemulsion,
Bahan pengkaya
6
Kaporit
Bahan aktif 60%
Sterilisasai alat
7
Antibiotik
Vircon Aquatic
Mengeliminir bakteri dalam bak induk
8
Formalin
4%
Mengawetkan sampel telur
9
Aquades
 
Untuk Kalibrasi Alat ukur 
10
Tissu roll
 
Untuk mengeringkan alat

2.3. Metode Kerja
     Kajian  yang dilakukan bersifat eksperimen, dimana induk ikan hias Blue Devil (Chrysiptera cyanea) sebagai objek penelitian, di ukur panjang dan berat dan selanjutnya dipilah secara acak untuk  dipasangkan dengan rasio jantan betina yang berbeda, pada bak pemijahan yang telah disiapkan berupa bak fiber dengan kapasitas 2 ton atau 2 m3. Selanjutnya pengamatan dilakukan  dengan cara mengamati frekuensi pemijahan, tingkat pembuahan dan derajat penetasan ikan  hias Blue Devil (Chrysiptera cyanea), Rangkaian prosedur penelitian dirinci sebagai berikut:

  • Ikan  hias Blue Devil (Chrysiptera cyanea), yang dipelihara dengan jumlah rasio Jantan : Betina yang berbeda,  yaitu 1 : 1 , 1 : 2  dan 1 : 3  selama 3 bulan.
  • Wadah pemeliharaaan induk ikan blue devil (Chrysiptera cyanea)  dengan menggunakan  bak fiber dengan kapasitas 2 m³ atau 2 ton   sebanyak tiga buah (3 buah) dengan sistem air mengalir sedang.
  • Induk diperoleh dari Desa Liang, Kabupaten Maluku Tengah yang telah di pelihara (Domestikasi) selama 2 bulan dengan ukuran 4,5-7,5 cm sebanyak 108 individu.

  1. Masing – masing bak di isi induk ikan blue devil (Chrysiptera cyanea)  sebanyak,  untuk Bak I  dengan perbandingan 1 : 1 (12 jantan : 12 Betina) untuk Bak II perbandingan 1 : 2  (12 Jantan : 24 Betina)  dan untuk Bak III perbandingan 1 : 3 (12 Jantan : 36 Betina).
  2.  
  3. Masing – masing induk ikan blue devil (Chrysiptera cyanea)  diberi pakan pelet sebanyak 2-3% dari berat tubuh (BW) dengan frekwensi 2 kali sehari, pagi dan sore hari serta diberi pakan alami berupa Artemia dewasa yang telah di perkaya dengan multivitamin dua hari sekali.
  4.  
  5. Shelter atau sarang tempat penempelan telur dipasang pada bak pemijahan masing –masing bak 7 shelter (shelter dari paralon ukuran 2  inchi, dan dilapisi plastik transparant dan bergaris).
  6.  
  7. Pengamatan dilakukan setiap hari bila terjadi pemijahan, meliputi jumlah telur, ukuran, derajad pembuahan dan selanjutnya jumlah telur menetas. 
 

2.4. Metode Pengumpulan Data
     Pengambilan sampel dilakukan setelah terjadi pemijahan dengan mengambil sarang (shelter) yang telah ditempeli telur  pada masing-masing wadah kultur secara acak sederhana. Sampel diambil  dari bak pemijahan setiap hari selama terjadi pemijahan, untuk mengamati tingkat  pembuahan dan jumlah telur menggunakan mikroskop dan hand counter, kemudian dihitung jumlah telur dan tingkat pembuahan.  Selanjutnya,  Fertilitas  telur dihitung dengan cara membandingkan telur yang dibuahi dengan jumlah telur seluruhnya, kemudian dikembalikan lagi ke bak pemijahan untuk diasuh oleh induknya. Telur dibiarkan dalam pengasuhan induk sampai menjelang penetasan atau  hari ke empat masa inkubasi selanjutnya sampel telur dicuplik dari sarang 12 jam, menjelang menetas untuk selanjutnya ditetaskan pada aquarium yang telah dipersiapkan untuk melihat derajat penetasan.
2.5. Metode Analisis Data
                Untuk melihat pengaruh perbedaan jumlah rasio Jantan : Betina  terhadap  derajat pembuahan dan penetasan maka digunakan  uji Chi-Square, dimana menurut Khow. 2009  uji ini lazim digunakan  pada uji non-parametrik  yaitu membandingkan nilai harapan hitung  (E) dan nilai pengamatan  (O) dengan asumsi bahwa proporsi setiap kelompok pengamatan adalah sama.
 
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Tingkat  Pembuahan (Fertilisasi)
     Pembuahan atau fertilisasi merupakan asosiasi gamet, dimana asosiasi ini merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses fertilisasi. Rasio pembuahan sering digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi kualitas telur. Penggabungan gamet biasanya disertai dengan pengaktifan telur. Selama fertilisasi dan pengaktifan, telur-telur ikan teleostei mengalami reaksi kortikal. Kortikal alveoli melebur, melepaskan cairan koloids, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang periviteline. Kjorsvik et al, (1990) dalam Utiah, (2006). Kortikal alveoli muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas telur yang jelek. Beberapa hal yang mempengaruhi pembuahan adalah berat telur ketika terjadi pembengkakan oleh air, pH cairan ovari, dan konsentrasi protein (Lahnsteiner et al., 2001).
     Fertilisasai adalah peleburan dua gamet yang berupa nukleus atau sel-sel bernukleus untuk membetuk sel tunggal (zigot) atau peleburan nukleus. Biasanya  melibatkan  penggabungan  sitoplasma  (plasmogami) dan penyatuan bahan nukleus (kariogami). Dengan meiosis, zigot itu membentuk ciri fundamental dari kebanyakan siklus seksual eukariota, dan pada dasarnya gamet- gamet yang melebur adalah haploid. Bilamana keduanya motil maka fertilisasi itu disebut isogami, bilamana berbeda dalam ukuran tetapi serupa dalam bentuk maka disebut anisogami,  bila satu tidak motil (dan biasanya lebih besar) dinamkan oogami (Huttner, 1980) 
     Pemijahan Induk Blue Devil (C. cyanea) dilakukan secara alami, pembuahan dilakukan diluar tubuh,. Induk betina yang akan memijah mempunyai ciri-ciri perut buncit dan genital papilanya menonjol, sedangkan yang jantan agresif bergerak mengejar betina. Induk Blue Devil  mulai membersihkan sarang  (Selter Paralon) untuk menempelkan telurnya. Proses pembersihan substrat dilakukan dengan cara menggerakkan badan mereka seolah-olah seperti sapu. Proses ini dilakukan agar substrat benar-benar bersih. Proses pemijahan biasanya berlasung sore  antara pukul 18.30- 20.00  dan pagi hari antara pukul 04.00-05.00. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan sepasang induk dapat memijah secara terus-menerus dengan selang waktu 4-5 hari sekali. Induk blue devil (Chrysiptera cyanea) memelihara telurnya selama 4 hari dan telur menetas pada hari ke 4 Sore yaitu antara pukul 19.00 – 19.30. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi antara 900-3.500 butir. Telur yang telah ditempelkan pada substrat akan dipelihara atau dijaga oleh induk jantan setiap saat keluar masuk sarang untuk menghalau ikan yang lain yang mencoba mendekati sarang dan membersihkan telur dari jamur dan parasit.
     Telur yang terbuahi  pada hari I berwarna putih,  pada hari ke II berwarna putih krem, hari ke III warna krem lebih dominan seiring dengan perkembangan embrio, dan pada hari ke IV telur berwarna krem dengan tanda hitam. Warna hitam tersebut diakibatkan pada embrio sudah terbentuk kromatopore sempurna pada mata, badan maupun ekor, sedangkan yang tidak terbuahi berwarna putih.
     Hasil perhitungan jumlah rata-rata telur pada setiap sarang selama 6 kali pemijahan terhadap ketiga perlakuan  disajikan pada Tabel 3. Rata-rata jumlah telur pada setiap sarang pada perlakuan Rasio jantan betina 1:1 adalah   1953±44,83 butir, dengan rata-rata telur fertile 1950±44,83 butir dan persen telur fertile 99,90%.  Untuk perlakuan Rasio Jantan : Betina 1:2.  adalah   2368±53,61 butir, dengan rata-rata telur fertile 2365±53,61  dan persen telur fertile 99,89%, Perlakuan Rasio Jantan Betina 1:3 adalah  rata-rata jumlah telur 1580±50,63 butir dan rata-rata telur fertile 1578 ±50,63 butir dengan persen telur fertile 99.95% . Dari ketiga perlakuan, capaian persen tingkat  pembuahan sangat tinggi, yaitu diatas 99%.
                Tabel 3. Jumlah sarang (shelter) efektif  yang ada telurnya/periode pemijahan

Periode Pemijahan
Perlakuan
Rasio   1 : 1
Rasio  1 : 2
Rasio 1 : 3
Jumlah Sarang
Jumlah Sarang
Jumlah sarang
1
2
4
3
2
2
5
6
3
3
6
5
4
4
3
4
5
3
4
7
6
2
4
7
Jumlah
16
26
32
Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Telur Selama Periode Pemijahan Pada Pada Sarang Buatan (shelter)
               Untuk Ketiga Perlakuan.

Periode
Pemijahan
Perlakuan
Rasio 1 : 1
Rasio 1 : 2
Rasio 1 :3
Jumlah Telur
Jumlah Telur Fertil
% Telur Fertil
Jumlah Telur
Jumlah Telur Fertil
% Telur Fertil
Jumlah Telur
Jumlah Telur Fertil
% Telur Fertil
1
2519±62,18
2519
100
2849±44,67
2842
99.75
1486±60,28
1486
100
2
1816±61,72
1811
99.72
2681±45,65
2681
100
1386±42,36
1386
100
3
2054±57,02
2053
99.95
2426±15,88
2425
99.96
2107±40,04
2104
99.90
4
3066±63,40
3058
99.74
2997±83,50
2992
99.83
1746±56,61
1744
99,88
5
1043±23,51
1043
100
2157±63,51
2155
99.91
1378±58,51
1378
100
6
1218±53,81
1218
100
1722±16,09
1721
99.94
1374±44,99
1371
99.92
Rata-rata
1953
1950
99,90
2472
2469
99,89
1580
1578
99,95
     Berdasarkan Uji chi-square yang dilakukan terhadap tingkat pembuahan pada  ketiga perlakuan menunjukkan bahwa  X2 hitung = (0,071) <  X2   tabel (18.31) db=(k-1)     (r-1)=10 α=0,05. Dengan demikian hipotesis awal (H0) perbedaan rasio jantan betina terhadap tingkat pembuahan diterima dan menolak hipotesis akhir  (H1), yaitu perbedaan rasio jantan : betina berpengaruh terhadap tingkat pebuahan. Hal ini disebabkan jenis ikan blue devil  mempunyai kebiasaan berpasangan dalam melakukan pemijahan secara alami, walaupun dalam satu bak terkontrol terdapat 2-7 pasang yang memijah pada saat yang hampir bersamaan sehingga sasaran pembuahan yaitu telur dilakukan sesaat betina mengeluarkan telur diikuti jantan menegeluarkan spermatozoa, tepat sasaran tepat waktu, sehingga motilitas spermatozoa untuk sampai sasaran memebutuhkan waktu yang singkat.  Menurut Hora dan Pillay (1962), dalam Partodiharjo, (1990), ukuran spermatozoa pada ikan teleostei berkisar 40-60 µm, dengan produksi spermatozoa yang cukup tinggi dan rata-rata volume milt yang dihasilkan ±0,5 ml dengan jumlah spermatozoa 3,33×1011, jumlah spermatozoa yang banyak tentu sangat berpengaruh terhadap tingkat penetasan.
3.2 Tingkat  Penetasan
     Data pengamatan terhadap tingkat penetasan (Hatching Rate) dari ketiga perlakuan menunjukkan tingkat penetasan yang sangat baik yaitu pada tingkat diatas 93%, yang ditunjukkan pada tabel 4, dan bisa  lebih tinggi hingga mencapai 100% jika proses pengasuhan selama masa inkubasi dilakukan oleh induknya. Karena sifat ikan blue devil merupakan ikan yang melakukan pengasuhan (parental care), sehingga mempunyai sintasan yang tinggi.
 
Tabel 5.    Persentase Jumlah Telur Menetas (Hatching Rate)/Periode Pemijahan Terhadap Ketiga perlakuan

Periode
Pemijahan
Perlakuan
Rasio 1 : 1
Rasio 1 : 2
Rasio 1 :3
Telur fertile ditetaskan
Jumlah Telur menetas
% Telur hatching
Telur fertile ditetaskan
Jumlah Telur menetas
% Telur menetas
Telur fertile
ditetaskan
Jumlah Telur menetas
% Telur menetas
 
1
245
238
97.14
308
287
93,18
263
258
98,09
2
231
221
95.67
312
302
96,79
305
297
97.38
3
142
132
92.96
361
342
94,74
460
433
94,13
4
195
189
96.92
371
354
95,42
164
157
95.73
5
202
190
94.06
160
145
90,63
296
292
98.65
6
164
164
100
210
194
92,38
333
268
80.48
Rata-rata
196
189
96,13
287
271
93,86
303
284
94,08
     Berdasarkan Uji Chi-Square yang dilakukan terhadap tigkat penetasan pada  ketiga perlakuan menunjukkan bahwa X² Hitung = 23,32  db = (k-1)(r-1) =10    α=0,05     X² table = 18.31 Kesimpulan : X² Hitung  > X² table , sehingga Tolak  Hipotesa Nol (H0), artinya ada perbedaan yang signifikan jumlah rasio jantan betina terhadap tingkat penetasan telur. Walaupun hasil penetasan untuk ketiga perlakuan memberikan hasil yang sangat baik yaitu diatas 93%. Tingkat perbedaan hasil penetasan untuk ketiga perlakuan tersebut diduga diakibatkan oleh adanya parasit dan jamur yang menyerang embrio selama masa inkubasi berlangsung, Keberadaan jasad renik pengganggu di wadah  penetasan  berupa parasit dan kuman – kuman penyakit. Mereka inilah yang dapat membuat kondisi telur ikan menjadi rusak dan embrio telur menjadi mati, meskipun tempat penetasan telur dilakukan pada tempat yang sama sehingga parameter kualitas media penetasan berada pada kondisi yang sama dan  telur yang ditetaskan merupakan telur yang telah di inkubasi oleh induk selama 3 hari pada media penetasan ± 12 jam sebelum telur menetas. Sehingga perkembangan embrio secara internal cukup sempurna untuk dapat menetas dengan baik.
 
 IV. KESIMPULAN DAN SARAN
     Berdasarkan hasil analisa  yang diperoleh maka dirumuskan kesimpulan bahwa rasio jantan betina yang berbeda tidak berpengaruh tehadap tingkat pembuahan tetapi berpengaruh signifikan terhadap tingkat penetasan telur  ikan blue devil (Crysiptera cyanea).
     Disarankan dalam melakukan pemijahan dilakukan dengan perbandingan jantan  betina yang lebih besar, karena  peluang ikan  matang gonad pada saat musim pemijahan lebih besar lihat tabel 3. 
DAFTAR PUSTAKA
 Allen, GR, 1991. Damselfishes of the World. Mergus, Germany. - 271pp. 271pp.
Allen.G.R. and R. Swainston, 1992. Reef Fishes of New Guinea Cristensen Research Institute(Madang)
Huttner A.F.1980. Comparative Embryology  of  the  Vertebrates.  MacmillanCompany, New York
Khow. A.S. 2009, Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut.
La Anadi, 1998. Tanggap betok Ambon (Chrysiptera cyanea) terhadap pemberian beberapa jenis umpan.(Tesis IPB. Bogor)
Partodiharjo, Soebadi. 1990. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Surabaya
Quoy and Gaimard, 1825 dalam Fish Base 2010.
Randall, JE, Allen GR, & Steene RC, 1997. – Fishes in  Great Barrier Reef & Coral Sea (edisi kedua). of Hawaii     USA,. 557pp.
Suharti, S.R. 1996, Keanekaragaman jenis dan kelimpahan Pomacentridae di Terumbu Karang perairan Selat Sunda. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 29:
Utiah, A. 2006. Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr) dengan Pemberian Pakan Buatan yang Ditambahkan Asam Lemak n-6 dan n-3 dan dengan Implantasi Estradiol-17 dan Tiroksin. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

  


Budidaya ikan hias blue devil

Budidaya ikan hias blue devil
Benih hasil budidaya

Budidaya Ikan Hias Clownfish

Budidaya Ikan Hias Clownfish
Benih ikan Clownfish

AMBON (17/7) - HASIL PEMBENIHAN IKAN HIAS. Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Gusti Muhammad Hatta (kanan) didampingi Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu menyaksikan hasil pembenihan ikan hias yang dilakukan para peneliti pada Balai Budidaya Laut Ambon saat Pencanangan Program Iptek Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku yang berlangsung di Ambon, Maluku, Selasa (17/7). FOTO ANTARA/Izaac Mulyawan/ed/nz/12. sumber: antarafoto.com

Text Widget

Blogroll

Blogger templates

Pages

Pages - Menu

Pages - Menu

Popular Posts