Suharno, Abdul Gani dan Akhmad Sururi
ABSTRAK
Pemanfaatan sumberdaya ikan hias air laut,
saat ini cenderung meningkat dan penangkapannya dilakukan dengan cara-cara
tidak ramah lingkungan dan dilakukan secara terus –menerus dan tidak
terkontrol. Kajian bertujuan untuk
mengetahui pengaruh perbedaan rasio jantan betina yang berbeda terhadap tingkat
pembuahan dan tingkat penetasan ikan blue devil (Chrysiptera cyanea ).
Metode
yang dilakukan bersifat eksperimen, yang dipelihara pada 3 bak kapasitas
2m3, Bak I dengan perbandingan 1 : 1 (12 jantan : 12
Betina) untuk Bak II perbandingan 1 : 2
(12 Jantan : 24 Betina) dan untuk
Bak III perbandingan 1 : 3 (12 Jantan : 36 Betina). Kajian dilakukan selama 3
bulan di indoor hachery Balai Budidaya Laut Ambon
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati frekwensi pemijahan,
tingkat pembuahan dan derajat penetasan ikan
hias Blue Devil (Chrysiptera
cyanea), Induk diberi pakan pelet sebanyak 2-3% dari berat tubuh (BW)
dengan frekwensi 2 kali sehari, pagi dan sore hari serta diberi pakan alami
berupa Artemia dewasa yang telah di perkaya dengan multivitamin dua hari
sekali. Uji chi-square memperlihatkan tingkat pembuahan pada ketiga perlakuan menunjukkan bahwa X2 hitung (0,071) < X2
tabel (18.31) pada taraf α =
0,05. dengan demikian hipotesis awal (H0) perbedaan rasio jantan betina
terhadap derajat pembuahan diterima dan menolak hipotesis akhir. Selanjutnya
Uji Chi-Square yang dilakukan terhadap derajat penetasan pada ketiga perlakuan menunjukkan bahwa X² Hitung
=23,32 α=0,05 X² table = 18,31, Kesimpulan X² Hitung > X² table. Dengan demikian Rasio jantan
betina yang berbeda tidak berpengaruh tehadap tingkat pembuahan tetapi
berpengaruh siqnifikan terhadap tingkat penetasan ikan blue devil (Chrysiptera
cyanea).
Kata
Kunci : Ikan Blue Devil, Rasio Jantan : Betina
Abstract : Spawning Effectiveness of Blue Devil (Chrysiptera cyanea) With Comparison of Different Male and Female Couple.
The utilization of fisheries resources,
especially fish, as this tends toexploitnatural resources in way sthat are not
environmentally friendly. And conditions change or polluted waters, willlead to
lowerfish populationsin the wild. In order to realize sustainability of fishing
industry, needs to do a trial effort in spawning Blue Devil (Chrysiptera cyanea ) with a different
number of pairs.
Experimental method used, which is maintained at 3 2m3
capacity of tank, Tank I in the ratio 1: 1 (12 males: 12 females) for Tank II
ratio of 1: 2 (12 males: 24 females) and for Tank III ratio 1: 3 (12 males: 36
females). The study was conducted for 3 months in indoor hachery of Ambon Mariculture
Development Center.
Observations made by observing the frequency of spawning,
fertilization rate and hatching of Blue Devil (Chrysiptera cyanea). The broodstock given feed of pellets as much
as 2-3% of body weight (BW) with a frequency of 2 times a day, morning and
afternoon, and were fed live feed of adult Artemia has been enriched with a
multivitamin every other day. Chi-square test showed conception rate in the
three treatments showed that the X2 count (0.071) < X2 table (18:31) at
level α = 0.05. Thus the initial hypothesis (H0) differences in the ratio of
females to males accepted and rejected conception degree final hypothesis.
Furthermore, Chi-Square test were conducted on the third hatching treatment
showed that X ² count = 23.32 α = 0.05 X
² table = 18.31, The conclusion is X² count > X ² table. Thus the male
female ratio is different does not affect fertilization rate but significant
effect on the level of blue devil fish hatchery (Chrysiptera cyanea).
Keywords : Blue Devil, The Ratio Of Male:
Female
I. PENDAHULUA
Setiap makhluk hidup melakukan perkawinan untuk menjaga
kelestarian spesiesnya. Pada organisme aquatik proses perkawinan ini sering
disebut memijah, Proses pemijahan dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu courtship, proses mating dan spawning. Dalam
melakukan pemijahan selain lingkungan yang mendukung salah satu syarat utama
adalah induk harus matang gonad, tingkat
kematangan gonad setiap individu berbeda–beda tergantung dari jenis dan
jenis kelamin dari organisme tersebut.
Pengelolaan dan pemanfaatan
ikan hias perlu dilakukan, mengingat asosiasi ikan karang dan terumbu karang
sangat erat, sehingga eksistensi ikan karang di suatu wilayah terumbu karang
sangat rapuh ketika terjadi pengrusakan habitatnya (Hartati dan Idrus 2005).
Pada bagian lain pemanfaatannya terus berkembang sehingga dapat mengancam
keberadaan dan keanekaragaman spesies sumberdaya ikan hias.
Allen, (1996) dan Kuiter, (1992). dalam La Anadi, (1998). Menyatakan
spesies blue devil atau Betok Ambon
(Chrysiptera cyanea) termasuk Famili
Pomacentridae atau kelompok damselfish yang
hidup menyebar pada habitat terumbu karang, dimana tingkah laku semua jenis
ikan dari famili Pomacentridae dapat menjadi agresif terhadap tempat atau
lokasi dimana mereka tinggal dan sangat sensitif terhadap gangguan yang membahayakan
dirinya. Menurut Allen, (1972) dalam
La Anadi, (1998), ikan blue devil mempunyai daerah kekuasaan (territorial) dan
berusaha mempertahankan daerah kekuasaannya dengan segala kemampuan sehingga
sering tejadi perkelahian diantara ikan
blue devil sendiri. Ciri lain
dari ikan family Pomacentridae ini dalam melakukan perkawinan melalui
beberapa tahapan, yaitu courtship, proses mating, dan spawning. Induk jantan
sangat protektif dalam melakukan penjagaan terhadap telur yang telah dibuahi
selama lebih kurang 4 hari masa inkubasi sampai telur menetas.
Maksud
dan tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk menganalisa perbedaan
jumlah rasio jantan : betina terhadap tingkat pembuahan dan penetasan larva
ikan blue devil (Chrysiptera cyanea). Sehingga diharapkan kajian ini dapat
memberikan informasi sebagai bahan
pertimbangan dalam pengelolaan dan
pemeliharaan induk ikan blue devil (Chrysiptera
cyanea), dengan rasio jantan
betina yang berbeda, serta mengetahui tingkat produktifitas selama musim pemijahan.
II.
MATERIAL DAN METODE
2.1
Waktu dan Tempat
Uji coba,
dilakukan di Indoor Hatchery Balai Budidaya Laut Ambon, Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kegiatan ini
dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai April 2012.
2.2
Alat dan Bahan
Berbagai bahan dan alat yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan penelitian
Perbedaan Jumlah Rasio Jantan : Betina
terhadap tingkat pembuahan dan
penetasan ikan Blue Devil (Chrysiptera
cyanea) seperti tetera pada Tabel 1. dan Tabel 2.
Tabel 1. Daftar
peralatan yang digunakan dalam
uji coba
No
|
Alat
|
Spesifikasi
|
Kegunaan
|
1
|
Bak
pemijahan
|
Fiber , vol
2m³
|
Wadah
pemeliharaan induk
|
2
|
Peralatan
|
(batu
aerasi,kran, selang aerasi
|
Suplai
oksigen
|
3
|
Baskom
plastik
|
30 liter
|
Wadah pengukuran
induk
|
4
|
Filter Bag
|
500 mikron
|
Penyaring
air
|
5
|
Serokan
/tanggo
|
Untuk
menangkap sampel induk
|
|
6
|
Mikroskop
|
Olympus
model HC-2
|
Pengamatan
telur ,untuk melihat perkembangan
larva
|
7
|
Mikrometer
|
Untuk
mengukur besar telur dan yolk eggs,oil globule . dll
|
|
8
|
Alat ukur
kualitas air
|
YSI ,
Termometer digital ,
|
ukur
kualitas air, Suhu,pH,Do ,Salinitas.
|
9
|
Kamera
digital
|
Untuk
mengambil gambar
|
Tabel 2. Daftar Bahan yang digunakan
No
|
Bahan
|
Spesifikasi
|
Keterengan
|
1
|
Induk Ikan
(108 individu)
|
Blue Devil C. cyanea
|
Bahan Uji
|
2
|
Telur Ikan
|
Blue Devil C. cyanea
|
Bahan Uji
|
3
|
Telur Hasil
Fertilisasi
|
Blue Devil C. cyanea
|
Bahan
Pengamatan
|
3
|
Pakan Buatan
|
Pelet
|
Diberikan 2
kali sehari
|
4
|
Pakan hidup
|
Artemia
dewasa
|
2 Hari
sekali
|
5
|
Multivitamin
|
Scotemulsion,
|
Bahan
pengkaya
|
6
|
Kaporit
|
Bahan aktif
60%
|
Sterilisasai
alat
|
7
|
Antibiotik
|
Vircon
Aquatic
|
Mengeliminir
bakteri dalam bak induk
|
8
|
Formalin
|
4%
|
Mengawetkan
sampel telur
|
9
|
Aquades
|
Untuk
Kalibrasi Alat ukur
|
|
10
|
Tissu roll
|
Untuk
mengeringkan alat
|
2.3.
Metode Kerja
Kajian yang dilakukan bersifat eksperimen, dimana
induk ikan hias Blue Devil (Chrysiptera
cyanea) sebagai objek penelitian, di ukur panjang dan berat dan selanjutnya
dipilah secara acak untuk dipasangkan
dengan rasio jantan betina yang berbeda, pada bak pemijahan yang telah
disiapkan berupa bak fiber dengan kapasitas 2 ton atau 2 m3.
Selanjutnya pengamatan dilakukan dengan
cara mengamati frekuensi pemijahan, tingkat pembuahan dan derajat penetasan
ikan hias Blue Devil (Chrysiptera cyanea), Rangkaian prosedur
penelitian dirinci sebagai berikut:
- Ikan hias Blue Devil (Chrysiptera cyanea), yang dipelihara dengan jumlah rasio Jantan : Betina yang berbeda, yaitu 1 : 1 , 1 : 2 dan 1 : 3 selama 3 bulan.
- Wadah pemeliharaaan induk ikan blue devil (Chrysiptera cyanea) dengan menggunakan bak fiber dengan kapasitas 2 m³ atau 2 ton sebanyak tiga buah (3 buah) dengan sistem air mengalir sedang.
- Induk diperoleh dari Desa Liang, Kabupaten Maluku Tengah yang telah di pelihara (Domestikasi) selama 2 bulan dengan ukuran 4,5-7,5 cm sebanyak 108 individu.
- Masing – masing bak di isi induk ikan blue devil (Chrysiptera cyanea) sebanyak, untuk Bak I dengan perbandingan 1 : 1 (12 jantan : 12 Betina) untuk Bak II perbandingan 1 : 2 (12 Jantan : 24 Betina) dan untuk Bak III perbandingan 1 : 3 (12 Jantan : 36 Betina).
- Masing – masing induk ikan blue devil (Chrysiptera cyanea) diberi pakan pelet sebanyak 2-3% dari berat tubuh (BW) dengan frekwensi 2 kali sehari, pagi dan sore hari serta diberi pakan alami berupa Artemia dewasa yang telah di perkaya dengan multivitamin dua hari sekali.
- Shelter atau sarang tempat penempelan telur dipasang pada bak pemijahan masing –masing bak 7 shelter (shelter dari paralon ukuran 2 inchi, dan dilapisi plastik transparant dan bergaris).
- Pengamatan dilakukan setiap hari bila terjadi pemijahan, meliputi jumlah telur, ukuran, derajad pembuahan dan selanjutnya jumlah telur menetas.
2.4. Metode Pengumpulan Data
Pengambilan
sampel dilakukan setelah terjadi pemijahan dengan mengambil sarang (shelter) yang telah ditempeli telur pada masing-masing wadah kultur secara acak
sederhana. Sampel diambil dari bak
pemijahan setiap hari selama terjadi pemijahan, untuk mengamati tingkat pembuahan dan jumlah telur menggunakan
mikroskop dan hand counter, kemudian dihitung jumlah telur dan tingkat
pembuahan. Selanjutnya, Fertilitas
telur dihitung dengan cara membandingkan telur yang dibuahi dengan
jumlah telur seluruhnya, kemudian dikembalikan lagi ke bak pemijahan untuk diasuh
oleh induknya. Telur dibiarkan dalam pengasuhan induk sampai menjelang
penetasan atau hari ke empat masa
inkubasi selanjutnya sampel telur dicuplik dari sarang 12 jam, menjelang
menetas untuk selanjutnya ditetaskan pada aquarium yang telah dipersiapkan
untuk melihat derajat penetasan.
2.5. Metode
Analisis Data
Untuk melihat pengaruh
perbedaan jumlah rasio Jantan : Betina
terhadap derajat pembuahan dan
penetasan maka digunakan uji Chi-Square,
dimana menurut Khow. 2009 uji ini lazim digunakan pada uji non-parametrik yaitu membandingkan nilai harapan hitung (E) dan nilai pengamatan (O) dengan asumsi bahwa proporsi setiap
kelompok pengamatan adalah sama.
3.1.
Tingkat Pembuahan (Fertilisasi)
Pembuahan atau fertilisasi merupakan asosiasi gamet, dimana
asosiasi ini merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses
fertilisasi. Rasio pembuahan sering digunakan sebagai parameter untuk
mendeteksi kualitas telur. Penggabungan gamet biasanya disertai dengan
pengaktifan telur. Selama fertilisasi dan pengaktifan, telur-telur ikan
teleostei mengalami reaksi kortikal. Kortikal alveoli melebur, melepaskan
cairan koloids, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang periviteline.
Kjorsvik et al, (1990) dalam Utiah, (2006). Kortikal alveoli
muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap
menunjukkan kualitas telur yang jelek. Beberapa hal yang mempengaruhi pembuahan
adalah berat telur ketika terjadi pembengkakan oleh air, pH cairan ovari, dan
konsentrasi protein (Lahnsteiner et
al., 2001).
Fertilisasai adalah peleburan dua
gamet yang berupa nukleus atau sel-sel bernukleus untuk membetuk sel tunggal
(zigot) atau peleburan nukleus. Biasanya melibatkan penggabungan
sitoplasma (plasmogami) dan penyatuan bahan nukleus (kariogami).
Dengan meiosis, zigot itu membentuk ciri fundamental dari kebanyakan siklus
seksual eukariota, dan pada dasarnya gamet- gamet yang melebur adalah haploid.
Bilamana keduanya motil maka fertilisasi itu disebut isogami, bilamana berbeda
dalam ukuran tetapi serupa dalam bentuk maka disebut anisogami, bila satu tidak motil (dan biasanya lebih
besar) dinamkan oogami (Huttner, 1980)
Pemijahan Induk Blue Devil (C. cyanea) dilakukan secara alami,
pembuahan dilakukan diluar tubuh,. Induk betina yang akan memijah mempunyai
ciri-ciri perut buncit dan genital papilanya menonjol, sedangkan yang jantan
agresif bergerak mengejar betina. Induk Blue Devil mulai membersihkan sarang (Selter Paralon) untuk menempelkan telurnya.
Proses pembersihan substrat dilakukan dengan cara menggerakkan badan mereka
seolah-olah seperti sapu. Proses ini dilakukan agar substrat benar-benar
bersih. Proses pemijahan biasanya berlasung sore antara pukul 18.30- 20.00 dan pagi hari antara pukul 04.00-05.00.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan sepasang induk dapat memijah secara
terus-menerus dengan selang waktu 4-5 hari sekali. Induk blue devil (Chrysiptera cyanea) memelihara telurnya
selama 4 hari dan telur menetas pada hari ke 4 Sore yaitu antara pukul 19.00 –
19.30. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi antara 900-3.500 butir. Telur
yang telah ditempelkan pada substrat akan dipelihara atau dijaga oleh induk
jantan setiap saat keluar masuk sarang untuk menghalau ikan yang lain yang mencoba
mendekati sarang dan membersihkan telur dari jamur dan parasit.
Telur yang terbuahi pada hari I berwarna putih, pada hari ke II berwarna putih krem, hari ke
III warna krem lebih dominan seiring dengan perkembangan embrio, dan pada hari
ke IV telur berwarna krem dengan tanda hitam. Warna hitam tersebut diakibatkan
pada embrio sudah terbentuk kromatopore sempurna pada mata, badan maupun ekor,
sedangkan yang tidak terbuahi berwarna putih.
Hasil perhitungan jumlah rata-rata telur pada
setiap sarang selama 6 kali pemijahan terhadap ketiga perlakuan disajikan pada Tabel 3. Rata-rata jumlah
telur pada setiap sarang pada perlakuan Rasio jantan betina 1:1 adalah 1953±44,83 butir, dengan rata-rata telur
fertile 1950±44,83 butir dan persen telur fertile 99,90%. Untuk perlakuan Rasio Jantan : Betina
1:2. adalah 2368±53,61 butir, dengan rata-rata telur
fertile 2365±53,61 dan persen telur
fertile 99,89%, Perlakuan Rasio Jantan Betina 1:3 adalah rata-rata jumlah telur 1580±50,63 butir dan
rata-rata telur fertile 1578 ±50,63 butir dengan persen telur fertile 99.95% .
Dari ketiga perlakuan, capaian persen tingkat
pembuahan sangat tinggi, yaitu diatas 99%.
Periode Pemijahan
|
Perlakuan
|
||
Rasio
1 : 1
|
Rasio
1 : 2
|
Rasio 1 : 3
|
|
Jumlah Sarang
|
Jumlah Sarang
|
Jumlah sarang
|
|
1
|
2
|
4
|
3
|
2
|
2
|
5
|
6
|
3
|
3
|
6
|
5
|
4
|
4
|
3
|
4
|
5
|
3
|
4
|
7
|
6
|
2
|
4
|
7
|
Jumlah
|
16
|
26
|
32
|
Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Telur Selama
Periode Pemijahan Pada Pada Sarang Buatan (shelter)
Untuk Ketiga Perlakuan.
Periode
Pemijahan
|
Perlakuan
|
||||||||
Rasio 1 : 1
|
Rasio 1 : 2
|
Rasio 1 :3
|
|||||||
Jumlah Telur
|
Jumlah Telur Fertil
|
% Telur Fertil
|
Jumlah Telur
|
Jumlah Telur Fertil
|
% Telur Fertil
|
Jumlah Telur
|
Jumlah Telur Fertil
|
% Telur Fertil
|
|
1
|
2519±62,18
|
2519
|
100
|
2849±44,67
|
2842
|
99.75
|
1486±60,28
|
1486
|
100
|
2
|
1816±61,72
|
1811
|
99.72
|
2681±45,65
|
2681
|
100
|
1386±42,36
|
1386
|
100
|
3
|
2054±57,02
|
2053
|
99.95
|
2426±15,88
|
2425
|
99.96
|
2107±40,04
|
2104
|
99.90
|
4
|
3066±63,40
|
3058
|
99.74
|
2997±83,50
|
2992
|
99.83
|
1746±56,61
|
1744
|
99,88
|
5
|
1043±23,51
|
1043
|
100
|
2157±63,51
|
2155
|
99.91
|
1378±58,51
|
1378
|
100
|
6
|
1218±53,81
|
1218
|
100
|
1722±16,09
|
1721
|
99.94
|
1374±44,99
|
1371
|
99.92
|
Rata-rata
|
1953
|
1950
|
99,90
|
2472
|
2469
|
99,89
|
1580
|
1578
|
99,95
|
Berdasarkan Uji chi-square yang dilakukan
terhadap tingkat pembuahan pada ketiga
perlakuan menunjukkan bahwa X2 hitung
= (0,071) < X2 tabel (18.31) db=(k-1) (r-1)=10 α=0,05. Dengan demikian hipotesis
awal (H0)
perbedaan rasio jantan betina terhadap tingkat pembuahan diterima dan menolak
hipotesis akhir (H1), yaitu perbedaan rasio jantan : betina berpengaruh terhadap tingkat
pebuahan. Hal ini disebabkan jenis ikan blue devil mempunyai kebiasaan berpasangan dalam
melakukan pemijahan secara alami, walaupun dalam satu bak terkontrol terdapat
2-7 pasang yang memijah pada saat yang hampir bersamaan sehingga sasaran
pembuahan yaitu telur dilakukan sesaat betina mengeluarkan telur diikuti jantan
menegeluarkan spermatozoa, tepat sasaran tepat waktu, sehingga motilitas
spermatozoa untuk sampai sasaran memebutuhkan waktu yang singkat. Menurut Hora dan Pillay (1962), dalam Partodiharjo, (1990), ukuran
spermatozoa pada ikan teleostei berkisar 40-60 µm, dengan produksi spermatozoa
yang cukup tinggi dan rata-rata volume milt yang dihasilkan ±0,5 ml dengan
jumlah spermatozoa 3,33×1011, jumlah spermatozoa yang banyak tentu
sangat berpengaruh terhadap tingkat penetasan.
3.2
Tingkat Penetasan
Data pengamatan terhadap tingkat penetasan (Hatching Rate) dari ketiga perlakuan menunjukkan tingkat penetasan yang
sangat baik yaitu pada tingkat diatas 93%, yang ditunjukkan pada tabel 4, dan
bisa lebih tinggi hingga mencapai 100%
jika proses pengasuhan selama masa inkubasi dilakukan oleh induknya. Karena
sifat ikan blue devil merupakan ikan yang melakukan pengasuhan (parental care), sehingga mempunyai
sintasan yang tinggi.
Tabel 5.
Persentase Jumlah Telur Menetas (Hatching
Rate)/Periode Pemijahan Terhadap Ketiga perlakuan
Periode
Pemijahan
|
Perlakuan
|
||||||||
Rasio 1 : 1
|
Rasio 1 : 2
|
Rasio 1 :3
|
|||||||
Telur fertile ditetaskan
|
Jumlah Telur menetas
|
% Telur hatching
|
Telur fertile ditetaskan
|
Jumlah Telur menetas
|
% Telur menetas
|
Telur fertile
ditetaskan
|
Jumlah Telur menetas
|
% Telur menetas
|
|
1
|
245
|
238
|
97.14
|
308
|
287
|
93,18
|
263
|
258
|
98,09
|
2
|
231
|
221
|
95.67
|
312
|
302
|
96,79
|
305
|
297
|
97.38
|
3
|
142
|
132
|
92.96
|
361
|
342
|
94,74
|
460
|
433
|
94,13
|
4
|
195
|
189
|
96.92
|
371
|
354
|
95,42
|
164
|
157
|
95.73
|
5
|
202
|
190
|
94.06
|
160
|
145
|
90,63
|
296
|
292
|
98.65
|
6
|
164
|
164
|
100
|
210
|
194
|
92,38
|
333
|
268
|
80.48
|
Rata-rata
|
196
|
189
|
96,13
|
287
|
271
|
93,86
|
303
|
284
|
94,08
|
Berdasarkan Uji Chi-Square yang
dilakukan terhadap tigkat penetasan pada
ketiga perlakuan menunjukkan bahwa X² Hitung = 23,32 db = (k-1)(r-1)
=10 α=0,05 X² table = 18.31 Kesimpulan : X² Hitung
> X² table , sehingga Tolak
Hipotesa Nol (H0), artinya ada perbedaan yang signifikan jumlah rasio
jantan betina terhadap tingkat penetasan telur. Walaupun hasil penetasan untuk
ketiga perlakuan memberikan hasil yang sangat baik yaitu diatas 93%. Tingkat
perbedaan hasil penetasan untuk ketiga perlakuan tersebut diduga diakibatkan
oleh adanya parasit dan jamur yang menyerang embrio selama masa inkubasi
berlangsung, Keberadaan jasad renik pengganggu di
wadah penetasan berupa parasit dan kuman – kuman penyakit.
Mereka inilah yang dapat membuat kondisi telur ikan menjadi rusak dan embrio
telur menjadi mati, meskipun tempat penetasan telur dilakukan pada
tempat yang sama sehingga parameter kualitas media penetasan berada pada
kondisi yang sama dan telur yang
ditetaskan merupakan telur yang telah di inkubasi oleh induk selama 3 hari pada
media penetasan ± 12 jam sebelum telur menetas. Sehingga perkembangan embrio
secara internal cukup sempurna untuk dapat menetas dengan baik.
Berdasarkan hasil analisa yang diperoleh maka dirumuskan kesimpulan bahwa rasio jantan betina yang berbeda tidak
berpengaruh tehadap tingkat pembuahan tetapi berpengaruh signifikan terhadap
tingkat penetasan telur ikan blue devil
(Crysiptera cyanea).
Disarankan
dalam melakukan pemijahan dilakukan dengan perbandingan jantan betina yang lebih besar, karena peluang ikan
matang gonad pada saat musim pemijahan lebih besar lihat tabel 3.
DAFTAR PUSTAKA
Allen.G.R.
and R. Swainston, 1992. Reef Fishes of New Guinea Cristensen Research
Institute(Madang)
Huttner A.F.1980. Comparative
Embryology of the Vertebrates. MacmillanCompany, New
York
Khow. A.S.
2009, Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut.
La Anadi, 1998. Tanggap betok Ambon (Chrysiptera cyanea) terhadap pemberian beberapa jenis
umpan.(Tesis IPB. Bogor)
Partodiharjo,
Soebadi. 1990. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Surabaya
Quoy
and Gaimard, 1825 dalam Fish Base 2010.
Randall, JE,
Allen GR, & Steene RC, 1997. – Fishes in Great Barrier Reef & Coral Sea (edisi
kedua). of
Hawaii USA,. 557pp.
Suharti,
S.R. 1996, Keanekaragaman jenis dan kelimpahan Pomacentridae di Terumbu Karang
perairan Selat Sunda. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 29:
Utiah,
A. 2006. Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung (Hemibagrus
nemurus Blkr) dengan Pemberian Pakan Buatan yang Ditambahkan Asam
Lemak n-6 dan n-3 dan dengan Implantasi Estradiol-17 dan Tiroksin. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor.
No comments:
Post a Comment